fbpx

Banggar DPR Larang Pemerintah Nego Lagi Defisit Anggaran Tahun Depan


JawaPos.com – Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengingatkan pemerintah untuk disiplin anggaran, dan tidak lagi mengusulkan pelebaran defisit anggaran untuk APBN 2021. Seperti diketahui, dalam postur sementara RAPBN 2021 defisit fiskal sudah dilebarkan ke level 5,7 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Defisit anggaran tahun depan ditargetkan sebesar Rp 1.006,4 triliun. Angka ini naik Rp 35,2 triliun dari yang ditargetkan dalam nota keuangan sebesar Rp 971,2 triliun.

Ketua Banggar DPR Said Abdullah juga meminta pemerintah memiliki manajemen risiko yang bisa mengantisipasi jika target pendapatan negara pada 2021 tidak tercapai. “Pemerintah harus memiliki manajemen risiko fiskal yang baik, untuk itu tidak boleh lagi menambah defisit anggaran,” ujarnya saat rapat kerja dengan pemerintah, Jumat (11/9).

Said mengusulkan, salah satu upaya manajemen risiko yang bisa dilakukan agar defisit tak melebar ketika penerimaan meleset adalah refocussing dan realokasi anggaran. Pemerintah diharapkan bisa mempertajam program-program yang prioritas.

Menanggapi hal itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memahami, potensi pelebaran defisit yang menjadi kekhawatiran DPR. Dia menegaskan, pemerintah berkomitmen menjaga defisit anggaran sesuai target di postur sementara RAPBN 2021.

“Pemerintah tetap menjaga disiplin fiskal dengan defisit tidak melebihi 5,7 persen. Dan apabila terjadi perubahan pos dalam pendapatan, maka akan dilakukan offside dari sisi belanja melalui berbagai tindakan refocussing atau melakukan prioritas yang lebih tajam lagi,” ucapnya.

Sri Mulyani berkomitmen akan menggunakan seluruh instrumen kebijakan dalam memulihkan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19. Pemerintah juga berjanji akan memprioritaskan sektor kesehatan.

“Semoga ketidakpastian berasal dari Covid-19 bisa ditangani dan tanggulangi dan terus pusatkan perhatian untuk dukung langkah-langkah kesehatan dan bidang ekonomi dan melindungi masyarakat melalui berbagai bansos,” tuturnya.

Editor : Estu Suryowati

Reporter : Romys Binekasri





Source link

Sri Mulyani Tegaskan Belum Ada Pembahasan Revisi UU BI


JawaPos.com – Baru-baru ini muncul wacana terkait revisi Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI). Apalagi istilah ‘Dewan Moneter’ tiba-tiba saja muncul dan menjadi topik yang ramai dibincangkan.

Menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan, hingga saat ini belum ada pembahasan terkait revisi UU BI. Namun, dia mengakui bahwa memang DPR menyampaikan inisiatif untuk merevisi regulasi yang mengatur otoritas moneter tersebut.

“Ini merupakan inisiatif dari Dewan Perwakilan Rakyat. Dapat dijelaskan bahwa sampai hari ini pemerintah belum membahas RUU inisiatif DPR tersebut,” katanya melalui video conference, Jumat (4/9).

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu memastikan, kebijakan moneter harus tetap kredibe, efektif, dan independen. Ini sesuai dengan arahan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Maka dari itu, pemerintah berkomitmen bersama-sama BI bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas serta kepercayaan ekonomi dalam rangka memajukan kesejahteraan masyarakat. “Kami bersama-sama memajukan kesejahteraan rakyat demi kemakmuran dan keadilan yang berkesinambungan,” ujarnya dikutip dari Antara.

baca juga: Sri Mulyani Sebut Dewan Moneter adalah Inisiatif DPR

Menurut Sri Mulyani, penataan dan penguatan sistem keuangan harus mengedepankan prinsip-prinsip tata kelola atau governance yang baik. Pemerintah, klaim Sri Mulyani, juga terus mengelola kebijakan fiskal secara hati-hati.

Hal itu dapat terlihat dari penyusunan RAPBN 2021 yang saat ini sedang dibahas dengan DPR. “Kebijakan fiskal yang prudent ini akan terus dipertahankan dan dilanjutkan di dalam rangka kita terus mendorong pemulihan ekonomi akibat dampak pandemi Covid-19 yang luar biasa,” pungkasnya.





Source link

Sri Mulyani Akui Ekonomi 2021 Mungkin Belum akan Pulih 100 Persen


JawaPos.com – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemulihan ekonomi nasional sangat bergantung pada ketersediaan vaksin Covid-19. Sementara distribusi vaksin masal sendiri diperkirakan baru bisa dilakukan pada semester-II 2021.

Menurutnya, jika proses vaksinasi berjalan lancar, maka pemerintah yakin roda perekonomian akan kembali normal dan ditargetkan tumbuh 4,5 hingga 5,5 persen. “Semua prediksi mengenai vaksin baru akan bisa dilakukan secara meluas ditemukan dan dilakukan, pada semester-II. Sehingga semester I tahun depan tidak bisa asumsi pemulihan fully power karena Covid,” ujarnya dalam rapat kerja bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi XI Jakarta, Rabu (2/9).

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menyebut, pandemi Covid-19 menghalangi laju daya beli masyarakat atau tingkat konsumsi rumah tangga dan investasi. Berbagai stimulus yang diberikan diharapkan dapat menopang daya beli masyarakat.

“Kita sangat bergantung pada pemulihan semester-II dan ini berikan pengaruh ke seberapa tinggi pemulihan pada 2021,” tuturnya.

Ia melihat, perbaikan ekonomi sudah mulai terjadi pada kuartal-III. Hal itu tampak dari pergerakan atau mobilitas masyarakat yang mulai tinggi karena adanya relaksasi pembatasan sosial.

Aktivitas masyarakat tentu dapat meningkatkan konsumsi dan bisa memulihkan ekonomi nasional. “Mobilitas sudah tunjukkan aktivitas masyarakat meningkat dibandingkan Maret, April, Mei lalu. Dan ini yang diharapkan aktivitas lebih tinggi, terjemahannya konsumsi dan aktivitas ekonomi mulai pulih bertahap,” pungkasnya.

Editor : Estu Suryowati

Reporter : Romys Binekasri





Source link

Biaya Perjalanan Dihemat untuk Kebutuhan Produktif Lain


JawaPos.com – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengkritisi terkait belanja barang pemerintah yang dinilai kurang efektif. Misalnya, soal belanja perjalanan dinas.

Menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati merespons, pihaknya telah melakukan penghematan pada belanja perjalanan dinas. “Soal perlunya efektivitas dan akuntabilitas belanja barang untuk 2019 yang dapat terus diperbaiki,” ujarnya di Jakarta, Selasa (25/8).

“Dalam hal ini belanja barang berupa perjalanan dinas, pemerintah akan meningkatkan efektivitas pelaksanaan dan melakukan penghematan belanja perjalanan dinas,” katanya lagi.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menjelaskan, pemerintah akan melakukan efisiensi pada belanja untuk honorarium hingga perjalanan dinas pegawai menteri. Kemudian, anggaran tersebut akan dialokasikan kepada yang lebih produktif.

“Pemerintah lakukan efisiensi dan efektivitas belanja pada pengendalian belanja honorarium, perjalanan dinas, dan paket meeting. Ini akan dialokasikan anggarannya ke hal produktif,” tuturnya.

Sementara itu, terkait belanja barang yang dialokasikan untuk masyarakat ataupun diberikan ke Pemerintah Daerah (Pemda). Pihaknya akan melakukan identifikasi dan memonitor lebih ketat proses penyalurannya.

“Terkait belanja barang untuk masyarakat atau Pemda, kami lakukan identifikasi dan monitoring pada saat pemindahtanganannnya ke masyarakat,” pungkasnya.

Editor : Estu Suryowati

Reporter : Romys Binekasri





Source link

Sampai Juli 2020, Pendapatan Negara Turun Rp 130,55 Triliun


JawaPos.com – Hingga akhir Juli 2020, realisasi belanja negara tercatat sebesar Rp 1.252,42 triliun. Angka ini setara dengan 45,72 persen dari pagu dalam Perpres 72/2020.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, realisasi belanja negara tersebut meliputi realisasi belanja pemerintah pusat yang sebesar Rp 793,60 triliun. Kemudian, realisasi tranfer ke daerah dan Dana Desa (TKDD) yang sebesar Rp 458,82 triliun.

Realisasi belanja pemerintah pusat tumbuh 4,25 persen dibandingkan periode sama tahun lalu atau year-on-year (yoy). Sementara itu, realisasi TKDD turun 3,4 persen yoy.

“Peningkatan kinerja realisasi belanja pemerintah pusat tersebut terutama dipengaruhi oleh realisasi bantuan sosial yang mencapai Rp 117,04 triliun atau tumbuh 55,9 persen (yoy),” ujarnya dalam konferensi pers virtual, Selasa (25/8).

Di sisi lain, realisasi pendapatan negara sebesar Rp 922,25 triliun atau 54,25 persen target APBN-Perpres 72/2020. “Pendapatan negara dan hibah mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar negatif 12,37 persen (yoy),” imbuhnya.

Sebagai informasi, pada periode sama tahun lalu, atau hingga Juli 2019, realisasi pendapatan negara mencapai Rp 1.052,8 triliun, atau 48,6 persen dari target APBN 2019. Ini berarti, realisasi pendapatan negara hingga Juli 2020 mengalami kontraksi sebesar Rp 130,55 triliun.

Sri Mulyani menyampaikan, realisasi penerimaan perpajakan sebesar Rp 710,98 triliun atau turun 12,29 persen (yoy). Itu terdiri dari realisasi penerimaan pajak sebesar Rp 601,91 triliun dan realisasi penerimaan bea dan cukai sebesar Rp 109,06 triliun.

Realisasi penerimaan pajak yang sebesar Rp 601,91 triliun itu turun 14,69 persen (yoy). Sedangkan realisasi penerimaan bea dan cukai yang mencapai Rp 109,06 triliun tumbuh 3,71 persen (yoy).

Sementara pada periode sama, realisasi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) mencapai Rp 208,81 triliun atau 70,99 persen target APBN-Perpres 72/2020. Realisasi ini turun 13,53 persen (yoy).

Sri Mulyani menambahkan, meskipun total penerimaan pajak masih mengalami kontraksi, namun sudah ada perbaikan penerimaan PPh Orang Pribadi dan PPnBM pada Juli 2020. “Selain itu, sektor industri pengolahan dan sektor jasa keuangan dan asuransi mengalami perbaikan kinerja,” katanya.

Editor : Estu Suryowati

Reporter : Romys Binekasri





Source link

Menkeu Perkirakan Kontraksi Ekonomi Kuartal-III Paling Dalam 2 Persen


JawaPos.com – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperkirakan, ekonomi pada kuartal-III 2020 terkontraksi paling dalam 2 persen, atau paling bagus stagnan alias nol persen. Sebab, hingga saat ini masih belum adanya tanda-tanda pembalikan pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih positif.

“Kuartal-III outlook-nya antara 0 persen hingga negatif 2 persen,” kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi APBN KiTa, Jakarta, Selasa (25/8).

Dengan demikian, kata dia, pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun ini akan diperkirakan berada di level -1,1 persen hingga 0,2 persen. Menurutnya, kunci pendongkrak agar ekonomi kembali ke zona positif adalah peningkatan konsumsi rumah tangga dan investasi.

“Meski pemerintah sudah all out dari sisi belanjanya akan sangat sulit masuk zona netral atau nol pada tahun ini (kalau konsumsi dan investasi turun dalam),” jelasnya.

Maka dari itu, Sri Mulyani berpesan agar para menteri terkait dapat melihat peluang untuk mendatangkan investasi masuk. Hal itu seiring dengan permintaan Presiden RI Joko Wododo (Jokowi) agar pada kuartal-III hingga akhir tahun ekonomi tidak terkontraksi terlalu dalam, atau minimal mendekati nol persen.

“Bapak Presiden kan minta beberapa menteri untuk fokus melihat pada indikator investasi karena kuartal-II kemarin kontraksinya cukup dalam. Kita harap pada kuartal-III dan IV mulai pulih, paling tidak mendekati nol persen,” tegasnya.

Editor : Estu Suryowati

Reporter : Romys Binekasri





Source link

Setelah 34 Tahun Berlaku, Materai Rp 3.000 dan Rp 6.000 akan Dihapus


JawaPos.com – Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana menghapus bea materai Rp 3.000 dan Rp 6.000, dan akan menggantinya dengan bea materai Rp 10.000. Tujuannya, untuk menyesuaikan situasi ekonomi, hukum, sosial, dan mengikuti perkembangan teknologi informasi.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, tarif bea materai perlu diperbarui karena sudah terlalu lama mengacu Undang-undang (UU) sebelumnya yaitu UU Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.

“Kebijakan tersebut mulai berlaku 1 Januari 1986, berarti sudah 34 tahun belum pernah mengalami perubahan. Sementara itu kondisi dan situasi dalam masyarakat dan perekonomian mengalami perubahan sangat besar dalam tiga tahun terakhir,” ujarnya di Jakarta, Senin (24/8).

Menurutnya, pembaruan tarif bea materai tersebut mencerminkan keberpihakan pemerintah terhadap kegiatan usaha mikro, kecil, dan menengah. Selain itu, juga diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara.

“2019 penerimaan bea materai dari RUU Bea Meterai berada pada kisaran Rp 11,3 triliun atau meningkat Rp 5,7 triliun,” ucapnya.

Sri Mulyani memaparkan, terdapat enam klaster dalam RUU Bea Meterai. Di antaranya, klaster obyek dan non-obyek, klaster tarif, klaster saat berutang, klaster subyek dan pemungut bea cukai, klaster pembayaran, dan terakhir klaster fasilitas. Dari enam klaster terebut, baru empat klaster yang dibahas.

Sri Mulyani menambahkan, mengingat pembahasan RUU Bea Meterai pada periode 2015-2019 lalu belum selesai, maka RUU ini menjadi prolegnas prioritas 2020. “Dengan demikian kita bisa melakukan pembahasannya dengan tetap mengacu kepada yang sudah dibahas sebelumnya,” pungkasnya.

Editor : Estu Suryowati

Reporter : Romys Binekasri





Source link