Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah, tetapi nilai tukar rupiah mencatat apresiasi.
Kemarin, IHSG berakhir di 5.230,19 atau melemah 0,18% dibandingkan posisi penutupan akhir pekan lalu. Meski masih merah, tetapi koreksi IHSG lumayan jauh menipis. Sayang, tidak cukup waktu buat IHSG untuk menyeberang ke jalur hijau.
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat 0,07% ke Rp 14.730/US$. Rupiah relatif nyaman di zona hijau, meski penguatannya tergerus seiring perjalanan pasar.
Ada sentimen yang campur aduk. Kabar buruknya, hubungan AS-China semakin memburuk karena pemerintah Presiden Donald Trump dikabarkan akan memberi sanksi kepada SMIC, perusahaan teknologi asal Negeri Tirai Bambu. SIMC, perusahaan pembuat semikonduktor, akan dipersulit saat akan memasarkan produknya di tanah Negeri Paman Sam.
Saat ini sudah ada 275 perusahaan China yang masuk daftar hitam di AS. Tudingannya bermacam-macam, mulai dari membahayakan keamanan nasional, pelanggaran hak atas kekayaan intelektual, sampai membantu penindasan terhadap kelompok minoritas muslim di Uighur.
China tentu tidak terima. Zhao Lijian, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, menegaskan bahwa AS jelas-jelas melakukan perundungan (bullying). Beijing meminta Washington menghentikan tekanan terhadap perusahaan-perusahaan asal China.
“Tanpa alasan yang jelas, AS telah menyalahgunakan kekuatan negara untuk menindak perusahaan-perusahaan China. AS sebaiknya segera menghentikan penindasan terhadap perusahaan asing,” kata Zhao dalam jumpa pers, seperti dikutip dari Reuters.
Sentimen ini membuat pelaku pasar lebih mawas diri, karena khawatir tensi AS-China akan mengganggu upaya pemulihan ekonomi yang sudah terhantam oleh pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Ini membuat arus modal agak menghindari aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk bursa saham Tanah Air. Investor asing membukukan jual bersih Rp 786,19 miliar.
Namun nilai tukar rupiah berhasil menguat, bukan karena pasokan ‘darah’ dari pasar saham melainkan obligasi pemerintah. Arus modal memang keluar dari pasar saham, tetapi tetap mengalir ke pasar Surat Berharga Negara (SBN).
Ini terlihat dari imbal hasil (yield) SBN yang turun di hampir seluruh tenor. Penurunan yield menandakan harga obligasi sedang naik karena tingginya minat investor.
SBN memang masih menarik di mata investor, terutama asing, karena menjanjikan imbalan tinggi. Saat ini, yield SBN seri acuan tenor 10 tahun berada di 6,91%. Instrumen serupa di AS hanya memberikan yield 0,723%.
Yield SBN juga lebih tinggi ketimbang surat utang pemerintah negara-negara tetangga. Obligasi pemerintah Malaysia tenor 10 tahun memiliki yield 2,656%, Singapura 0,968%, Filipina 2,915%, Thailand 1,44%, bahkan India 5,944%.
“Ke depan, Bank Indonesia memandang nilai tukar rupiah masih berpotensi menguat seiring levelnya yang secara fundamental masih undervalued didukung inflasi yang rendah dan terkendali, defisit transaksi berjalan yang rendah, daya tarik aset keuangan domestik yang tinggi, dan premi risiko Indonesia yang menurun,” sebut keterangan tertulis BI usai Rapat Dewan Gubernur edisi Agustus 2020.