Ketua Komite Tenaga Kerja dan Jaminan Sosial untuk Upah Apindo Aloysius Budi Santoso mengungkap kabar soal tak membayar pesangon buruh dalam Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) merupakan hoaks.
Meski tak dirinci dalam UU Omnibus Law Ciptaker, pengusaha masih harus membayarkan pesangon buruh dengan mekanisme dan perhitungan yang berbeda.
Poin 42 Pasal 81 UU Ciptaker yang menambahkan Pasal 154A (3) dalam UU Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemutusan hubungan kerja diatur dengan Peraturan Pemerintah.
“Pengusaha jangan gembira dulu, tetap harus membayar hak karyawan, tetap diberikan pesangon, bisa dilihat di perubahan pasal 156,” katanya dalam diskusi daring bertajuk ‘UU Ciptaker Implikasinya Bagi Pekerja dan Dunia Usaha’ pada Jumat (9/10).
Lebih lanjut, ia menjelaskan perbedaan pembayaran pesangon untuk pekerja yang mengalami PHK. Pada UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, dijabarkan besaran pembayaran pesangon untuk setiap alasan PHK. Sedangkan, dalam UU Ciptaker, alasan PHK tak lagi menjadi komponen acuan pembayaran pesangon.
Mengutip Poin 45 Pasal 81 UU Ciptaker yang berisi revisi pasal 157 UU Ketenagakerjaan, dinyatakan bahwa komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja, terdiri atas upah pokok dan tunjangan tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya.
Dalam kesempatan sama, Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani menyebut bahwa proses penyusunan atau pun pembahasan dari UU Ciptaker sejatinya sangat panjang. Bahkan dia menyebut sebetulnya penyusunan aturan telah dibahas sejak era kepemimpinan Muhaimin Iskandar pada 2009-2014 silam.
Namun, baru pada periode kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi), rancangan dapat disahkan menjadi UU. Pengesahan pun tak berjalan dengan lancar. Perundingan bipartit berakhir dengan mundurnya elemen buruh.
Dia menyayangkan hal tersebut, pasalnya ia menilai keberadaan UU Ciptaker mendesak di tengah tingginya biaya tenaga kerja yang tidak seimbang dengan produktivitas.
“Salah satu keprihatinan adalah tingginya biaya tenaga kerja yang tidak diimbangi produktivitas, ini keluhan usaha bahwa mereka tidak bisa buka lapangan pekerjaan seperti yang diharapkan,” tandasnya.
(wel/age)