Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara berjangka termal Newcastle masih ‘ogah’ turun dan lanjut menguat. Harga batu bara domestik China yang terus menguat juga menjadi pemicu naiknya harga batu bara lintas laut (seaborne).
Kontrak futures batu bara termal Newcastle ditutup menguat 0,5% ke US$ 60,9/ton. Tinggal selangkah lagi harga batu bara kontrak tembus ke level US$ 61/ton.
Meski sudah tembus ke atas US$ 60/ton harga batu bara belum menyamai level tertingginya saat pandemi Covid-19 yaitu di awal Oktober.
Pada 1 Oktober 2020, harga kontrak berjangka batu bara Newcastle ditutup di US$ 62,3/ton dan menandai harga tertinggi dalam lima bulan terakhir atau tepatnya sejak 6 April 2020.
Pandemi Covid-19 membuat banyak negara memilih melakukan pembatasan dengan ketat melalui lockdown. Aktivitas produksi pun anjlok. Alhasil kebutuhan listrik sektor industri melorot.
Aktivitas yang sangat terbatas juga membuat mobilitas publik berkurang drastis. Permintaan listrik dari sektor komersil pun ikut turun. Inilah yang membuat harga batu bara ambrol sepanjang pandemi.
Permintaan global yang turun dibarengi anjloknya harga membuat para produsen memangkas produksi mereka. Di saat produksi dipangkas, banyak negara mulai melonggarkan pembatasan seiring dengan menurunnya kasus infeksi Covid-19.
China sebagai konsumen batu bara terbesar dunia bahkan ekonominya bangkit dengan cepat. Namun di saat yang sama kebutuhan akan batu bara di China tak dapat diimbangi dengan ketersediaan batu bara lokal.
Ketatnya pasokan akibat pembatasan aktivitas pertambangan semasa Covid-19 membuat harga batu bara domestik China melesat tinggi. China memiliki kebijakan zona hijau atau green zone terkait rentang harga batu bara yang harus dijaga.
Zona hijau ditetapkan di rentang RMB 500 - RMB 570 per ton. Rentang harga tersebut dipilih agar tidak terlalu tinggi sehingga menggerus laba perusahaan utilitas pengguna batu bara sebagai bahan bakar. Selain itu harga juga dipatok agar tidak kerendahan yang dapat menyengsarakan para penambang.
Hanya saja harga batu bara termal China Qinhuangdao yang jadi acuan harganya sudah melampaui level tersebut. Usai turun dua minggu lalu, pekan kemarin harga batu bara domestik China kembali naik 1,5% ke RMB 616/ton.
Artinya selisih terhadap batas atas zona hijau sebesar RMB 46/ton. Jika dikonversi ke kurs dolar AS nilainya setara dengan US$ 6,81/ton. Namun jika dibandingkan dengan harga batu bara impor terutama untuk kelas batu bara termal Newcastle selisihnya mencapai lebih US$ 35/ton.
Jelas ini selisih yang sangat fantastis. Dalam kondisi normal China akan lebih memilih batu bara impor untuk memenuhi kebutuhan domestiknya. Hanya saja adanya kebijakan kuota impor membatasi hal tersebut.
Apalagi belum lama ini beredar rumor bahwa pemerintah China membisikkan kepada para pelaku industri untuk memboikot batu bara termal dan kokas dari Australia. Setelah sekan lama bungkam, akhirnya pemerintah China pun buka suara.
Saat dikonfirmasi soal isu tersebut, pemerintah China yang diwakili oleh Menteri Luar Negeri menepisnya. Menurutnya kebijakan tidak lagi mengimpor produk-produk Australia salah satunya batu bara adalah murni inisiatif dan keputusan pelaku industri.
Ke depan selain adanya ketidakpastian kebijakan impor China, harga batu bara juga masih dibayangi oleh gelombang kedua infeksi Covid-19 di berbagai negara terutama Eropa.
Kembali maraknya lockdown dan bentuk pembatasan lain dengan berbagai skala di Prancis, Inggris, Spanyol, Jerman, Italia, Norwegia hingga Hungaria menjadi ancaman serius yang membuat prospek batu legam jadi suram.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)