fbpx

Faktor-faktor yang Berpotensi Melemahkan IHSG Pekan Ini


TEMPO.CO, Jakarta - Direktur PT Anugrah Mega Investama Hans Kwee mengatakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berpotensi melemah pada pekan ketiga November 2020. Pelemahan IHSG dipengaruhi sejumlah sentimen dari eksternal dan domestik.

“Memudarnya optimisme vaksin Covid-19 dan mulai turunnya Biden Effect, serta meningkatnya kasus Covid-19 di beberapa negara yang diikuti penguncian sosial terbatas membuat kami perkirakan IHSG berpeluang konsolidasi melemah di pekan ini,” ujar Hans dalam pernyataan di Jakarta, Minggu, 15 November 2020.

Menurut Hans, pelaku pasar berhati-hati karena lonjakan kasus Covid-19 di berbagai negara. Penghitungan Reuters, menunjukkan kasus Covid-19 telah naik lebih dari 100 persen di 13 negara bagian Amerika dalam dua pekan terakhir.

Terkait kenaikan kasus tersebut, beberapa negara bagian di AS mulai melakukan pembatasan aktivitas. Negara bagian Chicago mengeluarkan peringatan untuk warganya tetap tinggal di rumah dan negara bagian New York menerapkan jam malam bagi restoran, bar dan pusat kebugaran sebagai upaya untuk menurunkan penyebaran Covid-19.

“Pembatasan kegiatan sosial dapat menurunkan pemulihan ekonomi sehingga berpotensi mendorong stimulus fiskal dan moneter lebih besar,” kata Hans.

Setelah peningkatan kasus Covid-19 yang diikuti pembatasan kegiatan sosial serta kemenangan Joe Biden di pilpres, mendorong optimisme stimulus fiskal US$ 2,2 triliun. Stimulus dianggap sangat penting untuk membangkitkan kembali perekonomian AS di tengah tekanan pandemi.

Di sisi lain, petinggi Demokrat di Kongres AS mendorong dilakukan negosiasi kembali atas proposal bantuan Covid-19 yang bernilai triliunan dolar. Tetapi dikabarkan petinggi Partai Republik masih menolak pendekatan itu karena dinilai terlalu mahal.





Source link

Joe Biden Jadi Presiden AS, Produsen Minyak yang Deg-Degan



Jakarta, CNBC Indonesia - Terpilihnya Joe Biden sebagai presiden terpilih Amerika Serikat ke-46, mengalahkan Presiden petahana, Trump. Kondisi ini diproyeksikan akan berdampak terhadap sentimen harga minyak global.

Reuters memberitakan, salah satu anggota kunci OPEC justru mengkhawatirkan terjadinya ketegangan dengan aliansi OPEC dengan terpilihnya Biden sebagai presiden AS.

“Dan [OPEC] akan merindukan Presiden Donald Trump yang beralih dari mengkritik kelompok tersebut menjadi bekerja sama, sehingga menghasilkan rekor penurunan produksi minyak,” tulis Reuters, Minggu (8/11/2020).


OPEC mengkhawatirkan, Biden dapat mengubah hubungan diplomatik AS dengan tiga anggota OPEC dan negara-negara yang terkena sanksi Iran dan Venezuela, serta dengan produsen utama non-OPEC Rusia. Rusia adalah pemimpin produsen minyak yang bersekutu dengan OPEC, kelompok yang dikenal sebagai OPEC+.

“Penegakan ketat sanksi AS terhadap Iran dan Venezuela telah menahan jutaan barel minyak per hari dari pasar, dan jika Biden harus melonggarkan langkah-langkah di tahun-tahun mendatang, peningkatan produksi dapat mempersulit OPEC untuk menyeimbangkan pasokan dengan permintaan,” urai Reuters.

Biden sebelumnya memang mengatakan, dia lebih memilih diplomasi multilateral daripada sanksi sepihak yang telah dijatuhkan Trump, meskipun itu mungkin tidak berarti pelonggaran sanksi dalam waktu dekat. Dalam kampanyenya, Biden mengatakan dia akan kembali ke kesepakatan nuklir Iran 2015 jika Teheran kembali mematuhi pakta tersebut.

Kemenangan Joe Biden juga diyakini akan sangat berpengaruh terhadap kebijakan energi AS. Biden dikenal dengan kebijakan yang kontra terhadap bahan bakar fosil. Hal ini terefleksi dari penurunan harga minyak pada Kamis (5/11/2020) kemarin, harga kontrak berjangka minyak drop lebih dari 2%.

Pada 09.40 WIB harga kontrak Brent turun 2,04% ke US$ 40,38/barel sedangkan untuk kontrak West Texas Intermediate (WTI) drop 2,07% ke US$ 38,34/barel.

Namun demikian, kemenangan Biden tak serta merta membuat pasar minyak goyang. Pasalnya komposisi kongres juga harus diperhatikan. Berdasarkan survei, kemungkinan besar Partai Republik masih akan menguasai Senat sementara Demokrat akan menguasai majelis rendah (House) dan lembaga eksekutif.

Komposisi yang masih terbelah ini juga akan berpengaruh terhadap kebijakan stimulus jilid II AS yang masih belum menemukan titik terang sampai sekarang. Hal inilah yang membuat dolar AS cenderung menguat dan menekan berbagai harga komoditas yang dibanderol dalam mata uang tersebut, salah satunya minyak.

[Gambas:Video CNBC]

(hoi/hoi)




Source link

Jika Biden Menang Pemilu, Rupiah dapat Berkah dari Langit?


Jakarta, CNBC Indonesia - Sudah sebulan ini pasar keuangan global bergerak relatif “sideways”. Pasalnya, semua investor dunia menantikan hasil pemilu Amerika Serikat (AS), sebuah perhelatan politik yang akan menentukan arah perkembangan politik, ekonomi, dan dinamika pasar keuangan global ke depan.

Memang setiap manuver Trump sejak kemenangannya di tahun 2016 selalu membuat seluruh pelaku pasar keuangan global kerepotan. Kemenangannya atas Hillary Clinton pada Oktober 2016 memicu outflows dari pasar SBN dan Saham, dan Rupiah pun melemah cukup tajam.

Gebrakan pertama yang membuat pasar saham global mengalami “sell-off” dan menekan seluruh mata uang negara berkembang adalah keputusannya di April 2018 yang mengobarkan perang dagang dengan China.

Perang dagang AS-China yang meluas ke konflik diplomatik antara dua raksasa dunia dan bahkan masih berlangsung hingga kini tersebut telah membuat pasar saham dunia bergejolak, memicu pelarian modal dari negara berkembang dan tekanan ke mata uang dunia karena aksi “flight to quality” ke asset yang dipandang safe haven seperti US Treasury Bond.


Democratic presidential candidate former Vice President Joe Biden speaks at Mountain Top Inn & Resort, Tuesday, Oct. 27, 2020, in Warm Springs, Ga. (AP Photo/Andrew Harnik)Foto: AP/Andrew Harnik

Dengan hasil poling yang mengindikasikan Biden akan memenangkan pemilu dalam sepekan terakhir, telah meningkatkan eforia di pasar keuangan global.

Lalu bagaimana dengan dampaknya ke pasar keuangan Indonesia bila Biden memenangkan pemilu.

“Sudah sewajarnya bila pasar keuangan global menyambut positif terhadap presiden AS yang akan lebih memberikan ketenangan kepada investor, bukan malah membuat jittery,” ujar Direktur Eksekutif Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia Nanang Hendarsah kepada CNBC Indonesia, Selasa (3/11/2020).

Menurutnya, selama tahun 2018 dan 2019 perang dagang antara AS dan China yang berkepanjangan telah membuat Rupiah tertekan berkepanjangan. Bank Indonesia pun harus melakukan stabilisasi kurs secara intens.

Lanjut Nanang, hasil polling pemilu AS dengan indikasi kemenangan Biden telah mendorong kurs NDF turun tajam dari Rp 14.800 per Dolar AS akhir pekan lalu ke posisi pembukaan pasar hari ini di Rp 14.660 per US$.

Sejumlah bank di pembukaan pasar hari ini juga banyak yang bahkan membuka posisi short dollar dan memberikan kuotasi langsung di bawah Rp 14.600.

“Bila presiden AS terpilih nanti kebijakan dan keputusan lebih “predictable” dan tidak “provocative” seharusnya akan mendorong aksi “flight From quality” dari aset yang dipandang aman seperti US Treasury Bond dan Emas, serta disertai pelemahan dollar AS atau penguatan mata uang Emerging Market. Dan indikasi ini sudah mulai terlihat dari turunnya kurs NDF di pasar offshore,” imbuhnya.

Meski demikian, kewaspadaan dinilai tetap harus tinggi, karena proses pemilu AS belum selesai dan bisa saja muncul ketidakpastian baru bila salah satu calon saling meng-claim kemenangan.

“Apapun hasilnya, pastinya Bank Indonesia akan tetap berada di pasar untuk mengawal kestabilan Rupiah,” jelasnya.

Sebagaimana diberitakan perebutan kursi di Senat AS juga masih ketat antara Demokrat dan Republikan, sehingga apakah yang dinamakan ‘Blue Wave’ atau kemenangan demokrat untuk merebut gedung putih dan menguasai kursi di senat. “Harus kita tunggu beberapa hari lagi,” tegasnya.




[Gambas:Video CNBC]

(dru)




Source link