fbpx

Sri Mulyani Yakin Dampak PSBB II DKI Jakarta Tak Separah yang Pertama


JawaPos.com – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memandang, dampak pengetatan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta pasca PSBB transisi terhadap perekonomian nasional, tidak sebesar PSBB jilid pertama. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kondisi saat ini berbeda dari saat PSBB jilid pertama diterapkan pada Maret-April lalu.

Saat ini masyarakat juga sudah tidak kaget dengan adanya kebijakan PSBB, karena sudah dapat melakukan berbagai penyesuaian dalam kegiatan sehari-hari, termasuk dalam kegiatan perekonomian. “Mereka sudah bisa melakukan kombinasi kegiatan-kegiatan dengan kondisi tetap terjaganya protokol kesehatan yang ketat. Mereka akan melakukan adjustment, sehingga dampaknya tidak akan sedalam Maret-April lalu,” ujarnya dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (22/9).

Menurutnya, terdapat perbedaan dalam penerapan kebijakan PSBB saat ini dan PSBB jilid pertama. Jika dulu masyarakat belum tahu strategi atau langkah apa yang harus dilakukan, maka saat ini masyarakat cenderung terbiasa dalam melakukan aktivitas perekonomian.

“Waktu itu enggak ada pengalaman, enggak ada perencanaan, dan enggak bisa di-adjust dengan cepat. Maka kontraksi ekonomi sangat dalam karena semua berhenti,” tuturnya.

Sri Mulyani menyebut, sejak Juni lalu masyarakat sudah mulai bisa berdaptasi dan melakukan penyesuaian kegiatan sehari-hari di tengah PSBB. Sehingga meskipun pengetatan PSBB dilakukan, hal tersebut tidak membuat semua aktivitas terhenti.

“Ini yang jadi harapan walaupun ada pengetatan dari sisi PSBB, tapi tidak berarti semua aktivitas berhenti dan kemudian berdampak ke perekonomiannya,” tuturnya.

Editor : Estu Suryowati

Reporter : Romys Binekasri





Source link

Kejar Pertumbuhan Ekonomi 0 Persen di Akhir Tahun, Menkeu Sebut 3 Hal Ini



Suara.com - Pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 akan mengalami perlambatan cukup signifikan dari target.

Hitung-hitungannya menghasilkan prediksi ekonomi berpotensi tumbuh 0 persen sepanjang tahun ini.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun tak menampik pagebluk Virus Corona atau Covid-19 jadi biang keroknya.

Virus yang asal muasalnya dari Kota Wuhan Provinsi Hubei, China tersebut benar-benar meluluhlantakkan ekonomi, baik nasional maupun global.

Meski tahu kondisi sulit, dia tetap optimistis ekonomi nasional bisa berangsur pulih.

Caranya dengan menggenjot kinerja indikator pertumbuhan ekonomi seperti konsumsi, investasi dan ekspor.

“Tantangan kalau ingin mendekati 0 (pertumbuhan ekonomi) maka konsumsi, investasi dan ekspor harus meningkat sangat tinggi,” katanya di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (7/9/2020).

Namun, begitu dia mengatakan ada tantangan lain yang harus dihadapi oleh pemerintah, yakni jumlah orang yang positif Covid-19 makin hari makin banyak saja, sehingga membuat kekhawatiran.

“Dengan adanya pembatasan dan sekarang kekhawatiran terjadinya kenaikan jumlah positif tiap hari, (sehingga) harus hati-hati,” katanya.

Maka dari itu, kata dia, sesuai arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), pemerintah ingin antara kesehatan dan ekonomi harus bisa berjalan beriringan.





Source link

Biaya Perjalanan Dihemat untuk Kebutuhan Produktif Lain


JawaPos.com – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengkritisi terkait belanja barang pemerintah yang dinilai kurang efektif. Misalnya, soal belanja perjalanan dinas.

Menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati merespons, pihaknya telah melakukan penghematan pada belanja perjalanan dinas. “Soal perlunya efektivitas dan akuntabilitas belanja barang untuk 2019 yang dapat terus diperbaiki,” ujarnya di Jakarta, Selasa (25/8).

“Dalam hal ini belanja barang berupa perjalanan dinas, pemerintah akan meningkatkan efektivitas pelaksanaan dan melakukan penghematan belanja perjalanan dinas,” katanya lagi.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menjelaskan, pemerintah akan melakukan efisiensi pada belanja untuk honorarium hingga perjalanan dinas pegawai menteri. Kemudian, anggaran tersebut akan dialokasikan kepada yang lebih produktif.

“Pemerintah lakukan efisiensi dan efektivitas belanja pada pengendalian belanja honorarium, perjalanan dinas, dan paket meeting. Ini akan dialokasikan anggarannya ke hal produktif,” tuturnya.

Sementara itu, terkait belanja barang yang dialokasikan untuk masyarakat ataupun diberikan ke Pemerintah Daerah (Pemda). Pihaknya akan melakukan identifikasi dan memonitor lebih ketat proses penyalurannya.

“Terkait belanja barang untuk masyarakat atau Pemda, kami lakukan identifikasi dan monitoring pada saat pemindahtanganannnya ke masyarakat,” pungkasnya.

Editor : Estu Suryowati

Reporter : Romys Binekasri





Source link

Sampai Juli 2020, Pendapatan Negara Turun Rp 130,55 Triliun


JawaPos.com – Hingga akhir Juli 2020, realisasi belanja negara tercatat sebesar Rp 1.252,42 triliun. Angka ini setara dengan 45,72 persen dari pagu dalam Perpres 72/2020.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, realisasi belanja negara tersebut meliputi realisasi belanja pemerintah pusat yang sebesar Rp 793,60 triliun. Kemudian, realisasi tranfer ke daerah dan Dana Desa (TKDD) yang sebesar Rp 458,82 triliun.

Realisasi belanja pemerintah pusat tumbuh 4,25 persen dibandingkan periode sama tahun lalu atau year-on-year (yoy). Sementara itu, realisasi TKDD turun 3,4 persen yoy.

“Peningkatan kinerja realisasi belanja pemerintah pusat tersebut terutama dipengaruhi oleh realisasi bantuan sosial yang mencapai Rp 117,04 triliun atau tumbuh 55,9 persen (yoy),” ujarnya dalam konferensi pers virtual, Selasa (25/8).

Di sisi lain, realisasi pendapatan negara sebesar Rp 922,25 triliun atau 54,25 persen target APBN-Perpres 72/2020. “Pendapatan negara dan hibah mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar negatif 12,37 persen (yoy),” imbuhnya.

Sebagai informasi, pada periode sama tahun lalu, atau hingga Juli 2019, realisasi pendapatan negara mencapai Rp 1.052,8 triliun, atau 48,6 persen dari target APBN 2019. Ini berarti, realisasi pendapatan negara hingga Juli 2020 mengalami kontraksi sebesar Rp 130,55 triliun.

Sri Mulyani menyampaikan, realisasi penerimaan perpajakan sebesar Rp 710,98 triliun atau turun 12,29 persen (yoy). Itu terdiri dari realisasi penerimaan pajak sebesar Rp 601,91 triliun dan realisasi penerimaan bea dan cukai sebesar Rp 109,06 triliun.

Realisasi penerimaan pajak yang sebesar Rp 601,91 triliun itu turun 14,69 persen (yoy). Sedangkan realisasi penerimaan bea dan cukai yang mencapai Rp 109,06 triliun tumbuh 3,71 persen (yoy).

Sementara pada periode sama, realisasi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) mencapai Rp 208,81 triliun atau 70,99 persen target APBN-Perpres 72/2020. Realisasi ini turun 13,53 persen (yoy).

Sri Mulyani menambahkan, meskipun total penerimaan pajak masih mengalami kontraksi, namun sudah ada perbaikan penerimaan PPh Orang Pribadi dan PPnBM pada Juli 2020. “Selain itu, sektor industri pengolahan dan sektor jasa keuangan dan asuransi mengalami perbaikan kinerja,” katanya.

Editor : Estu Suryowati

Reporter : Romys Binekasri





Source link

Menkeu Perkirakan Kontraksi Ekonomi Kuartal-III Paling Dalam 2 Persen


JawaPos.com – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperkirakan, ekonomi pada kuartal-III 2020 terkontraksi paling dalam 2 persen, atau paling bagus stagnan alias nol persen. Sebab, hingga saat ini masih belum adanya tanda-tanda pembalikan pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih positif.

“Kuartal-III outlook-nya antara 0 persen hingga negatif 2 persen,” kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi APBN KiTa, Jakarta, Selasa (25/8).

Dengan demikian, kata dia, pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun ini akan diperkirakan berada di level -1,1 persen hingga 0,2 persen. Menurutnya, kunci pendongkrak agar ekonomi kembali ke zona positif adalah peningkatan konsumsi rumah tangga dan investasi.

“Meski pemerintah sudah all out dari sisi belanjanya akan sangat sulit masuk zona netral atau nol pada tahun ini (kalau konsumsi dan investasi turun dalam),” jelasnya.

Maka dari itu, Sri Mulyani berpesan agar para menteri terkait dapat melihat peluang untuk mendatangkan investasi masuk. Hal itu seiring dengan permintaan Presiden RI Joko Wododo (Jokowi) agar pada kuartal-III hingga akhir tahun ekonomi tidak terkontraksi terlalu dalam, atau minimal mendekati nol persen.

“Bapak Presiden kan minta beberapa menteri untuk fokus melihat pada indikator investasi karena kuartal-II kemarin kontraksinya cukup dalam. Kita harap pada kuartal-III dan IV mulai pulih, paling tidak mendekati nol persen,” tegasnya.

Editor : Estu Suryowati

Reporter : Romys Binekasri





Source link

Setelah 34 Tahun Berlaku, Materai Rp 3.000 dan Rp 6.000 akan Dihapus


JawaPos.com – Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana menghapus bea materai Rp 3.000 dan Rp 6.000, dan akan menggantinya dengan bea materai Rp 10.000. Tujuannya, untuk menyesuaikan situasi ekonomi, hukum, sosial, dan mengikuti perkembangan teknologi informasi.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, tarif bea materai perlu diperbarui karena sudah terlalu lama mengacu Undang-undang (UU) sebelumnya yaitu UU Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.

“Kebijakan tersebut mulai berlaku 1 Januari 1986, berarti sudah 34 tahun belum pernah mengalami perubahan. Sementara itu kondisi dan situasi dalam masyarakat dan perekonomian mengalami perubahan sangat besar dalam tiga tahun terakhir,” ujarnya di Jakarta, Senin (24/8).

Menurutnya, pembaruan tarif bea materai tersebut mencerminkan keberpihakan pemerintah terhadap kegiatan usaha mikro, kecil, dan menengah. Selain itu, juga diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara.

“2019 penerimaan bea materai dari RUU Bea Meterai berada pada kisaran Rp 11,3 triliun atau meningkat Rp 5,7 triliun,” ucapnya.

Sri Mulyani memaparkan, terdapat enam klaster dalam RUU Bea Meterai. Di antaranya, klaster obyek dan non-obyek, klaster tarif, klaster saat berutang, klaster subyek dan pemungut bea cukai, klaster pembayaran, dan terakhir klaster fasilitas. Dari enam klaster terebut, baru empat klaster yang dibahas.

Sri Mulyani menambahkan, mengingat pembahasan RUU Bea Meterai pada periode 2015-2019 lalu belum selesai, maka RUU ini menjadi prolegnas prioritas 2020. “Dengan demikian kita bisa melakukan pembahasannya dengan tetap mengacu kepada yang sudah dibahas sebelumnya,” pungkasnya.

Editor : Estu Suryowati

Reporter : Romys Binekasri





Source link