Ekonom Senior Faisal Basri menuding program biodiesel didesain menguntungkan segelintir pelaku di industri biodiesel. Sementara, dari sisi ekonomis maupun lingkungan, pemerintah dan masyarakat dirugikan oleh program tersebut.
Menurut dia, program biodiesel bukan lah jawaban dari permasalahan energi yang tengah dihadapi RI, yakni defisit minyak fosil yang diakibatkan ketidakseimbangan antara konsumsi dan produksi.
“Kebijakan ini jauh api dan panggang, bahkan semakin membuat perekonomian Indonesia dirugikan besar, yang diuntungkan hanya segelintir orang pemilik pabrik biodiesel,” ucapnya dalam diskusi daring Greenpeace bertajuk Kebijakan Biodiesel Untuk Siapa? pada Rabu (18/11).
Dari sisi lingkungan, ia bilang program tak menjadi solusi sebagai energi terbarukan yang ramah lingkungan. Pasalnya, jika produksi biodiesel mencapai 33 miliar liter, maka diperlukan area tanam seluas 8,3 juta hektare (Ha) yang setara dengan 70,6 persen dari lahan tanam yang ada.
Tanpa proyeksi pun, lanjut dia, saat ini perkebunan sawit telah merambah ke kawasan hutan. “Ada 3 juta ha hutan yang sudah ditanami sawit, jadi ini deforestasi menjadi ancaman kita semua,” imbuhnya.
Apalagi, pasar dunia terus bergeser pada penggunaan bahan bakar ramah lingkungan. Ia khawatir biodiesel dari RI tidak akan mendapatkan tempat di pasar dunia. Walhasil, pasar dalam negeri lah yang harus menyerap biodiesel.
Dia juga menyoroti kejanggalan dari subsidi biodiesel yang diberikan oleh pemerintah di tengah pandemi covid-19 sebesar Rp2,78 triliun melalui program Pemulihan ekonomi Nasional (PEN).
Menurut Faisal, subsidi bukan untuk menjaga stabilitas harga untuk mengurangi volatilitas bagi masyarakat atau konsumen berpenghasilan rendah, melainkan untuk menyelamatkan pelaku usaha karena permintaan menurun drastis.
Jika niat pemerintah membantu petani, ia bilang seharusnya subsidi diberikan untuk seluruh penghasil CPO, bukan khusus untuk industri biodiesel.
“Bayangkan apa urusannya covid-19 dengan biofuel? Kan tidak ada urusannya. Ini langkah awal dan tidak ada yang mempertanyakan,” katanya.
Secara ekonomis pun, Faisal tak melihat kontribusi positif dari pengembangan biodiesel. Pasalnya, program disebut malah menekan transaksi berjalan (CAD).
Berdasarkan perhitungan opportunity cost, ia bilang terjadi defisit perdagangan yang kian melebar setiap tahunnya. Hitungannya, defisit untuk 2019 sebesar Rp85,2 triliun atau sekitar US$6,1 miliar, lebih besar dari 2018 yakni Rp72,1 triliun atawa US$5 miliar.
Opportunity cost yang dimaksudnya adalah pendapatan ekspor yang dikorbankan pemerintah dari konsumsi biofuel dan pemakaian biodiesel untuk kebutuhan domestik.
“Tidak ada yang namanya penghematan devisa di sana, justru penggerogotan devisa karena penghematan yang kita dapatkan dari tidak mengimpor solar jauh lebih kecil karena tidak mengimpor solar kan hanya 30 persen kalau B30, lalu kehilangan kesempatan ekspor CPO,” terang dia.
Pada sidang tahunan MPR, Agustus lalu, Jokowi menyebut program biodiesel membuat pemerintah mampu menekan nilai impor minyak pada 2019 lalu.
PT Pertamina (Persero) pun membenarkan bahwa implementasi B20 dan B30 telah menghemat devisa negara sebesar Rp43,8 triliun pada 2019. Tahun ini, ditargetkan menghemat devisa hingga Rp63,4 triliun dari program B30.
Kondisi itu terkonfirmasi oleh data impor hasil minyak Badan Pusat Statistik (BPS). Tercatat, impor hasil minyak secara tahunan turun 11,73 persen menjadi 10,33 juta ton. Adapun nilai impor hasil minyak sepanjang semester I 2020 merosot 39,3 persen menjadi US$1,98 miliar.
(wel/bir)