Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) Sedang dalam tren merosot memasuki semester II-2020, padahal di paruh pertama tahun ini masih membukukan kinerja positif.
Melansir data Refinitiv, sepanjang semester I-2020, indeks dolar AS mencatat penguatan 0,94%, tetapi memasuki semester II-2020 perlahan mulai menurun hingga akhirnya nyungsep. Sejak awal Juli hingga 1 September kemarin, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini merosot lebih dari 5% ke 92,338 yang merupakan level terendah sejak April 2018.
Pemicu utama lesunya dolar AS yakni pemulihan ekonomi yang diprediksi akan berjalan lebih lambat ketimbang negara-negara lainnya, khususnya negara di Eropa.
Selain itu kebijakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) membabat habis suku bunga acuannya menjadi 0,25, serta menerapkan kembali program pembelian aset atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE), membuat perekonomian AS menjadi banjir likuiditas, akibatnya dolar AS melemah.
Kebijakan terbaru The Fed memperburuk kinerja the greenback. Bos The Fed, Jerome Powell, pada Kamis (27/8/2020) malam mengubah pendekatannya terhadap target inflasi. Sebelumnya The Fed menetapkan target inflasi sebesar 2%, ketika sudah mendekatinya maka bank sentral paling powerful di dunia ini akan menormalisasi suku bunganya, alias mulai menaikkan suku bunga.
Kini The Fed menerapkan “target inflasi rata-rata” yang artinya The Fed akan membiarkan inflasi naik lebih tinggi di atas 2% “secara moderat” dalam “beberapa waktu”, selama rata-ratanya masih 2%.
Dengan “target inflasi rata-rata” Powell mengatakan suku bunga rendah bisa ditahan lebih lama lagi, guna membantu perekonomian yang mengalami resesi akibat pandemi Covid-19.
Suku bunga rendah yang ditahan dalam waktu yang lama tentunya berdampak negatif bagi dolar AS.