Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri melemah di pekan ini, terbebani isu dari dalam negeri. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot 2% ke 5.239,851, mengakhiri rentetan penguatan dalam 3 pekan beruntun, dan turun dari level tertinggi enam bulan.
Rupiah melemah 0,86% ke Rp 14.740/US$ dan berada di dekat level terendah 3 bulan. Pasar obligasi juga mengalami pelemahan, terlihat dari yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun naik 9,1 basis poin menjadi 6,948%.
Sebagai informasi, pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Ketika harga naik yield akan turun, sementara ketika harga turun yield akan naik.
Pasar keuangan dalam negeri tertekan akibat rencana Revisi Undang-Undang nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI). Selain itu kemungkinan program “burden sharing” pemerintah dan Bank Indonesia (BI) berlanjut hingga tahun 2022 juga memukul rupiah.
“Burden sharing” merupakan program dimana BI akan membeli obligasi pemerintah tanpa bunga alias zero coupon. Program tersebut sudah dilakukan mulai awal Juli lalu.
Ada kecemasan di pasar “burden sharing” akan memicu kenaikan inflasi di Indonesia akibat semakin banyaknya jumlah uang yang beredar.
Ketika inflasi meningkat, maka daya tarik investasi di Indonesia menjadi menurun, sebab real return yang dihasilkan menjadi lebih rendah. Hal ini dapat memukul nilai tukar rupiah.
Data dari dalam negeri juga kurang menguntungkan bagi rupiah. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi bulan lalu adalah -0,05% secara bulanan (month-to-month/MtM) alias deflasi, yang sudah terjadi dalam 2 bulan beruntun.
Secara statistik, deflasi sudah dua kali berturut-turut terjadi. BPS juga mencatat terjadi deflasi pada Juli 2020 sebesar 0,10%. Deflasi merupakan kondisi harga-harga turun.
Deflasi tersebut terjadi akibat rendahnya daya beli masyarakat yang dihantam pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19). Belanja konsumen merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia, dengan kontribusi 58% hingga 60%, ketika daya beli rendah maka risiko kontraksi ekonomi tentunya semakin besar, dan terancam mengalami resesi di kuartal III-2020.
Sentimen tersebut masih akan terbawa hingga awal pekan besok. Selain itu Wall Street yang mengakhiri perdagangan di zona merah pada perdagangan Jumat waktu setempat tentunya mengirim sentimen negatif ke pasar Asia termasuk Indonesia.
Sentimen negatif bagi pasar finansial juga datang dari risiko eskalasi ketegangan antara Amerika Serikat dengan China. Pemerintah AS dilaporkan mempertimbangkan mengenakan pembatasan ekspor untuk Semiconductor Manufacturing International Corporation (SMIC), produsen semikonduktor terbesar di China.
Hal tersebut tentunya bisa berdampak buruk di awal pekan, Senin (7/9/2020). Selain itu, China akan melaporkan data neraca dagang yang bisa menunjukkan bagaimana kinerja perekonomian China lebih lanjut pasca pandemi Covid-19.
Melansir data dari Trading Economics, ekspor di bulan Agustus diprediksi meningkat 7,1% year-on-year (YoY), sementara impor naik 0,1% YoY. Artinya roda perekonomian China berputar lebih kencang yang bisa menjadi sentimen positif ke pasar keuangan global.
Jika data ekspor-impor China menunjukkan peningkatan, maka pasar keuangan akan mendapat angin segar.
Sementara itu dari dalam negeri, pekan ini akan menjadi sibuk sebab banyak data ekonomi yang akan dirilis, mulai dari cadangan devisa, tingkat keyakinan konsumen, dan penjualan eceran.
Bank Indonesia (BI) pada awal Agustus lalu melaporkan cadangan devisa Indonesia pada akhir Juli 2020 sebesar US$ 135,1 miliar. Melonjak tajam dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar US$ 131,7 miliar. Rekor tertinggi cadangan devisa sebelumnya adalah US$ 132 miliar yang terjadi pada Januari 2018.
Dengan cadev yang meningkat ke rekor tertinggi, BI memiliki lebih banyak amunisi untuk menstabilkan rupiah. Sehingga dapat memberikan kenyamanan bagi investor asing untuk berinvestasi di dalam negeri.
Jika cadev Indonesia kembali mencetak rekor tertinggi tentunya akan menjadi sentimen positif di pasar finansial. Apalagi jika keyakinan konsumen terus membaik begitu juga dengan penjualan ritel, pasar keuangan Indonesia tentu bisa ceria kembali.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)