fbpx

Ada Risiko Taper Tantrum Jilid II, Saatnya Koleksi Dolar AS?


Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi penyakit virus corona (Covid-19) membuat perekonomian global merosot tajam, banyak negara masuk ke jurang resesi, termasuk Amerika Serikat (AS) sang negara Adikuasa.

Produk domestik bruto (PDB) AS di kuartal II-2020 lalu terkontraksi alias minus 31,7% berdasarkan data pembacaan kedua, setelah minus 5% di kuartal sebelumnya. Artinya, Amerika Serikat mengalami resesi untuk pertama kalinya sejak 2008 lalu.

Guna membangkitkan lagi perekonomian, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) membabat habis suku bunganya menjadi 0,25%, dan mengaktifkan kembali program pembelian aset (obligasi dan surat berharga lainnya) atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE). The Fed menerapkan kebijakan ultra longgar, dan sama persis dengan yang dilakukan pada tahun 2008.


Saat itu, Amerika Serikat mengalami resesi, yang memicu krisis finansial global. Guna membangkitkan perekonomian, The Fed memangkas suku bunga hingga 0,25%, menggelontorkan QE dalam tiga tahap.

QE 1 dilakukan mulai November 2008, kemudian QE 2 mulai November 2010, dan QE 3 pada September 2012. Nilainya pun berbeda-beda, saat QE 1 The Fed membeli efek beragun senilai US$ 600 miliar, kemudian QE 2 juga sama senilai US$ 600 miliar tetapi kali ini yang dibeli adalah obligasi pemerintah (Treasury) AS.

QE 3 berbeda, The fed mengumumkan pembelian kedua aset tersebut senilai US$ 40 miliar per bulan, kemudian dinaikkan menjadi US$ 85 miliar per bulan.
Akibatnya Balance Sheet The Fed yang menunjukkan nilai aset (surat berharga) yang dibeli melalui kebijakan quantitative easing semakin membengkak. Semakin banyak jumlah aset yang dibeli, maka balance sheet The Fed akan semakin besar.

Balance Sheet The Fed mengalami lonjakan signifikan sejak September 2008, dan terus menanjak setelahnya.

Kebijakan suku bunga rendah dan QE membuat perekonomian Negeri Paman Sam banjir likuiditas, akibatnya indeks dolar AS tertahan di bawah level 90. Artinya dolar AS sedang melempem.

Pada Juni 2013 The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke akhirnya mengeluarkan wacana untuk mengurangi (tapering) QE.

Saat wacana tersebut muncul dolar AS menjadi begitu perkasa, hingga ada istilah “taper tantrum“. Maklum saja, sejak diterapkan suku bunga rendah serta QE, nilai tukar dolar AS melempem. Sehingga saat muncul wacana pengurangan QE hingga akhirnya dihentikan dolar AS langsung mengamuk “taper tantrum” mata uang lainnya dibuat rontok oleh the greenback.

The Fed akhirnya mulai mengurangi QE sebesar US$ 10 miliar per bulan dimulai pada Desember 2013, hingga akhirnya dihentikan pada Oktober 2014. Akibatnya, sepanjang 2014, indeks dolar melesat lebih dari 12%.


Tidak sampai di situ, setelah QE berakhir muncul wacana normalisasi alias kenaikan suku bunga The Fed, yang membuat dolar AS terus berjaya hingga akhir 2015 saat suku bunga acuan akhirnya dinaikkan 25 basis poin menjadi 0,5%. Setelahnya, The Fed mempertahankan suku bunga tersebut selama 1 tahun, penguatan indeks dolar pun mereda.

Rupiah menjadi salah satu korban keganasan “taper tantrum” kala itu. Sejak Bernanke mengumumkan “tapering” Juni 2013 nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.

Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.




Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *