Jakartam CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah akhirnya menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (4/9/2020) setelah melemah dalam 3 hari beruntun. Dolar AS sedang loyo sebab investor yang “jaga jarak” menjelang rilis data tenaga kerja Negeri Paman Sam.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat cukup tajam, 0,41% ke Rp 14.700/US$. Tetapi tidak lama langsung masuk ke zona merah, melemah 0,24% ke Rp 14.795/US$, yang menjadi level terlemah intraday.
Setelahnya rupiah bolak-balik menguat dan melemah hingga akhirnya mengakhiri perdagangan di zona hijau, menguat 0,14% ke Rp 14.740/US$ di pasar spot.
Lesunya dolar AS terlihat dari mayoritas mata uang utama Asia yang menguat hari ini. Sayangnya rupiah terlempar dari posisi 3 besar, sebab masih terbebani isu dari dalam negeri.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hingga pukul 15:10 WIB.
Dalam kurun waktu 3 hari terakhir, total pelemahan rupiah sebesar 1,37%, sehingga ada koreksi teknikal pagi ini yang membuatnya langsung melesat. Apalagi, indeks dolar AS sudah mengendur kemarin setelah menguat cukup tajam 2 hari beruntun dan menjauhi level terendah dalam lebih dari 2 tahun terakhir.
Kemarin, indeks dolar AS melemah 0,12%, sementara hari ini nyaris stagnan dan tidak banyak bergerak jelang rilis data tenaga kerja AS malam ini.
Data tenaga kerja merupakan salah satu indikator kesehatan ekonomi, sehingga akan memberikan dampak signifikan ke pasar keuangan. Para investor cenderung “jaga jarak” dengan dolar AS sebagai antisipasi jika rilis data tenaga kerja yang buruk.
Selain itu, para analis memang mengatakan penguatan dolar AS hanya sementara, ke depannya akan kembali melemah.
“Anda bisa melihat bangkitnya dolar AS sebagai sedikit perubahan tren, setelah turun dalam waktu yang lama. Tetapi itu hanya berlangsung dalam jangka pendek,” kata Jason Wong, ahli strategi pasar senior di BNZ, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (3/9/2020).
“Itu (kenaikan dolar setelah turun tajam) hanya jeda, para investor masih cukup bearish,” ujar Wong yang melihat bank sentral AS akan menahan suku bunga rendah dalam waktu yang lama, sehingga dolar akan tertekan lagi.
Tetapi, rupiah juga dalam tekanan di pekan ini akibat rencana Revisi Undang-Undang nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI). Dalam revisi ini akan ada banyak beberapa pasal yang dihapus dan juga ditambahkan.
Salah satu yang disoroti dalam revisi tersebut adalah adanya dewan moneter yang diketuai Menteri Keuangan, yang nantinya akan ikut dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG), bahkan juga memiliki hak suara dalam menentukan kebijakan BI. Hal tersebut dikhawatirkan akan menghilangkan independensi BI.
Melansir CNBC International, Kepala Ekonom Asean di Nomura, Euben Paracuelles, mengatakan revisi untuk menetapkan dewan moneter yang diketuai oleh menteri keuangan adalah “tidak biasa” dan tidak sejalan dengan praktek terbaik tentang bagaimana kebijakan moneter seharusnya ditetapkan.
“Investor mungkin melihat tersebut sebagai masalah besar, yang dapat memicu capital outflow, yang pada akhirnya menekan nilai tukar rupiah,” katanya dalam program “Squawk Box Asia” di CNBC International Rabu (2/9/2020) lalu.
Selain itu kemungkinan program “burden sharing” pemerintah dan Bank Indonesia (BI) berlanjut hingga tahun 2022 juga memukul rupiah.
“Burden sharing” merupakan program dimana BI akan membeli obligasi pemerintah tanpa bunga alias zero coupon. Program tersebut sudah dilakukan mulai awal Juli lalu.
Ada kecemasan di pasar “burden sharing” akan memicu kenaikan inflasi di Indonesia akibat semakin banyaknya jumlah uang yang beredar.
Ketika inflasi meningkat, maka daya tarik investasi di Indonesia menjadi menurun, sebab real return yang dihasilkan menjadi lebih rendah.
Isu dari dalam negeri tersebut membuat rupiah belum mampu menguat signifikan pada hari ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)